KERINCI – Meski saat ini zaman sudah maju,legenda cerita cindaku manusia setegah harimau masih sangat kental bagi masyarakat yang hidup di lembah Kerinci,sosok gaib ini hidup di perbukitan dan hutan Kerinci yang lebat dan berkabut ia merupakan penjaga dan melindungi hutan dan keseimbangan alam di wilayah Kerinci.
Legenda Cindaku tidak lahir dari sekadar imajinasi. Ia tumbuh dan hidup dari kearifan lokal masyarakat Kerinci, diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Konon, Cindaku berasal dari keturunan Tingkas, sebuah garis keturunan yang memiliki kemampuan magis untuk berubah menjadi manusia harimau. Mereka bukan makhluk jahat, melainkan pelindung yang akan bertindak ketika keseimbangan alam terganggu – seperti ketika hutan dirusak, satwa diburu, atau adat dilanggar.
“Cindaku itu bukan mitos semata bagi kami. Ia simbol bahwa alam ini punya penjaganya. Kalau hutan rusak, akan ada balasannya,” tutur Rudi Mulyadi, seorang tokoh adat Desa Lempur, sambil memandang lebatnya hutan di kaki perbukitan bukit barisan, Ia telah mempelajari kisah Cindaku sejak kecil dan kerap diminta menjadi narasumber dalam kegiatan budaya.
Legenda ini menyatu erat dengan kehidupan masyarakat. Dalam banyak kesempatan, terutama dalam perayaan adat dan ritual pembersihan kampung, masyarakat akan menyebut nama Cindaku sebagai bagian dari doa dan perlindungan. Bahkan, tarian tradisional seperti Ngagah Harimau masih rutin dipentaskan – sebuah pertunjukan yang menggambarkan perpaduan kekuatan dan keanggunan harimau melalui gerakan para penari perempuan yang mengenakan kostum bermotif loreng.
Lebih dari sekadar pertunjukan seni, tarian ini menjadi bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam dan roh leluhur. “Ngagah Harimau bukan cuma tarian. Itu komunikasi batin kami dengan penjaga hutan. Harimau bukan musuh, dia saudara tua,” tambah Rudi.
Bagi masyarakat Kerinci, hutan bukan hanya ruang hidup bagi flora dan fauna, tapi juga ruang spiritual. Setiap pohon besar, goa, dan sungai dipercaya memiliki penunggunya. Dan Cindaku, adalah penguasa tak kasat mata yang menjaga batas-batas agar tidak dilanggar sembarangan.
Di tengah modernisasi dan gempuran pembangunan, legenda Cindaku menjadi salah satu benteng terakhir nilai-nilai ekologis yang hidup dalam budaya lokal. Masyarakat adat terus menyuarakan pentingnya menjaga hutan Kerinci dari perambahan liar, pembalakan, dan ekspansi perkebunan yang merusak habitat satwa endemik – termasuk harimau sumatera yang kian terancam.
Para peneliti budaya dan lingkungan pun mulai melirik nilai-nilai kearifan ini sebagai bagian dari strategi pelestarian alam berbasis budaya. Dalam berbagai forum, legenda Cindaku menjadi bahan kajian karena mampu menginternalisasi kesadaran lingkungan tanpa perlu pendekatan hukum semata.
“Legenda seperti ini tidak bisa diremehkan. Ia bagian dari sistem nilai yang kuat, yang mampu menjaga ekosistem secara alami,” ujar Rahmawati, peneliti antropologi dari Universitas Jambi.
Kini, ketika isu lingkungan menjadi semakin mendesak, kisah Cindaku hadir kembali – bukan hanya sebagai cerita rakyat yang eksotis, melainkan sebagai simbol perlawanan terhadap kerusakan alam. Ia mengajarkan bahwa alam adalah sahabat, bukan objek eksploitasi.
Cerita cindaku terlepas benar atau tidak,ada banyak hal yang bisa kita petik bahwa ada batas manusia dengan alam yang harus dijaga dan ada batas manusia dengan alam yang tidak bisa masuki dan di cerobohi,ada harapan alam kerinci masih terjaga oleh cerita manusia setegah harimau yang belum pudar.(Berbagai Sumber)