JAKARTA — Pengamat ekonomi menilai utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang menembus Rp118 triliun berpotensi menjadi “bom waktu” bagi keuangan negara. Para ekonom menilai satu-satunya langkah realistis untuk menghindari krisis adalah restrukturisasi pinjaman kepada China Development Bank (CDB).
Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, sebelumnya mengajukan dua opsi kepada pemerintah untuk mengatasi utang tersebut. Pertama, pemerintah menambah penyertaan modal ke PT Kereta Api Indonesia (KAI) selaku pemimpin konsorsium. Kedua, pemerintah mengambil alih infrastruktur proyek dan membiarkan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) fokus sebagai operator.
Baca Juga : Menkeu Purbaya Siap Bubarkan Satgas BLBI, Nilai Kinerjanya Lambat dan Tak Efektif
“Kami menawarkan dua skema. Pemerintah bisa menambah modal agar perusahaan mandiri secara operasional, atau infrastruktur diserahkan menjadi milik negara,” ujar Dony di Jakarta Convention Center.
Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak usulan itu. Ia menegaskan Danantara sebagai pengelola investasi BUMN seharusnya mampu menanggung beban utangnya sendiri tanpa mengandalkan APBN.
“Kalau semua proyek bermasalah diserahkan ke pemerintah, apa gunanya pemisahan antara swasta dan pemerintah?” kata Purbaya di Bogor. Ia mengingatkan Danantara menerima dividen hingga Rp80 triliun per tahun, sehingga cukup kuat untuk menutup beban utang KCIC.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menambahkan utang proyek kereta cepat bersifat business to business (B2B). Karena itu, tidak ada tanggungan langsung dari APBN terhadap pinjaman tersebut.
Kerugian Terus Membengkak
Proyek KCJB yang resmi beroperasi sejak Oktober 2023 membutuhkan investasi US$7,27 miliar atau sekitar Rp118 triliun, termasuk pembengkakan biaya US$1,2 miliar. Sekitar 75 persen pendanaan berasal dari pinjaman CDB.
Konsorsium KCIC terdiri dari 60 persen saham PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan 40 persen milik China Railway. PSBI beranggotakan KAI, WIKA, Jasa Marga, dan PTPN VIII. Hingga semester I-2025, PSBI mencatat kerugian Rp1,63 triliun, sedangkan kontribusi rugi bersih ke KAI mencapai Rp951,5 miliar.
Pendapatan Tak Imbang dengan Beban Utang
Data PEPS menunjukkan bunga pinjaman KCJB mencapai 2% hingga 3,4% per tahun, setara hampir Rp2 triliun per tahun. Sementara itu, sepanjang 2024, penjualan tiket hanya 6,06 juta lembar dengan pendapatan kotor sekitar Rp1,5 triliun.
“Uang dividen Danantara tidak cukup untuk menutup bunga utang. Kalau fokus membayar utang kereta cepat, Danantara tak bisa membiayai proyek lain,” ujar Anthony Budiawan, Direktur PEPS.
Menurut Anthony, langkah Menteri Keuangan sudah tepat. APBN tidak boleh menanggung utang perusahaan, apalagi di tengah tekanan fiskal yang meningkat. Tahun depan, pembayaran bunga utang negara mencapai Rp599,4 triliun, naik 8,6 persen dibanding 2024.
Restrukturisasi Jadi Pilihan Rasional
Anthony menyarankan Danantara dan KAI segera menegosiasikan restrukturisasi pinjaman dengan CDB agar bunga pinjaman bisa turun ke level serupa tawaran Jepang, yakni 0,1% per tahun.
“Kalau tidak bisa, proyek ini berisiko gagal bayar dan bisa saja diambil alih China sepenuhnya,” ujarnya.
Menteri Investasi Rosan Roeslani mengonfirmasi bahwa pemerintah sedang bernegosiasi dengan pihak China untuk menyusun ulang struktur pembiayaan proyek agar lebih berkelanjutan. Ia juga menyebut hasil negosiasi ini dapat memengaruhi rencana pembangunan kereta cepat Jakarta–Surabaya.
Baca Juga : Purbaya Yakinkan Publik, Utang Negara Masih Terkendali dan dalam Batas Aman
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron mendukung opsi restrukturisasi selama hitungannya rasional. Ia menilai efisiensi operasional dan perluasan rute bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menambah pendapatan KCIC.
“Kalau rute diperpanjang ke Surabaya, potensi penumpang dan pendapatan akan meningkat,” kata Herman.